Konflik Horizontal Antara Orang Kristen Dan Muslim di Tanah Papua
Oleh: Ibrahim Peyon
Dua hal menjadi pemberitaan berbagai media di Papua dan Indonesia dua minggu ini pelarangan pembangunan menara Masjid dan penghinaan terhadap Misionaris, budaya dan perempuan Papua oleh seorang ustad asal Fakfak. Bila dianalisasi dua peristiwa ini dihubungkan dengan indikator-indikator tertentu sangat mudah ditemukan relasi.
Pertama dianalisa latar belakang dibentuknya Persekutuan Gereja-Gereja di Papua, di mana Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura sebagai salah satu cabangnya. Lembaga ini dibentuk oleh beberapa orang pemimpin gereja masa itu sebagai pembangkaman terhadap persatuan gereja-gereja Papua yang lebih kritis dan berdiri bersama orang Papua untuk membela keadilan atas pelanggaran HAM. Khusus gereja Kingmi, Baptis dan GKI-TP pada masa kepemimpinan pendeta Awom dan pendeta Jemima.
Beberapa manta pemimpin gereja khusus GKI-TP, Gidi dan uskup Jayapura akhirnya sepakat untuk membentuk PGGP dan melibatkan beberapa gereja lain yang tidak memiliki basis yang kuat dalam masyarakat Papua.
Kelompok ini berusaha menghindar dari sikap kristis dari kelompok yang pertama di atas dan lebih dekat dengan pemerintah dan para pejabat militer di tanah Papua. Dalam perkembangannya PGGP lebih pada pro pemerintah dan beberapa pemimpin gereja secara terang-terang perjuang untuk mempertahan pendudukan Indonesia di tanah Papua selama ini. Mereka tidak pernah berbicara tentang pelanggaran HAM yang dialami oleh umat mereka sendiri. Terakhir kelompok ini terlibat dan mobilisasi masa untuk mendukung Akhok, gubernur Provinsi Jakarta ketika dia terlibat dalam persoalan hukum karena penistaan agama tertentu.
Pada saat yang sama seorang ustad asal Fakfak ini secara terang-terangan menghina Misionaris, budaya Papua dan perempuan Papua. Tujuannya jelas untuk membangkitkan emosi dan kemarahan orang Papua. Selama ini kelompok muslim di Papua khusus orang asli Papua tidak terlalu jauh terlibat dalam perjuangan Papua, meskipun ada terbatas pada isu HAM dan membangun wacana politik di media masa. Tetapi perjuangan secara progresif belum terlihat secara kuantitas (ada tapi dalam jumlah terbatas). Termasuk ustad ini tidak terlalu dikenal dan lebih banyak waktu dihabiskan di pulau Jawa (seperti disebutkan Ismael Asso).
Bila dilihat dari latar belakang itu ditemukan relasinya jelas bahwa keduanya lebih kepada kekuasaan dan pro Jakarta. Keduannya mempunyai relasi dan mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai dari dua peristiwa ini. Persoalan utama bukan menarah Masjid dan penghinaan terhadap orang Papua dan misionaris, tetapi lebih besar dari itu.
Ada dua target yang hendak dicapai di sini:
Pertama, membangun konflik hirizontal antara orang kristen dan muslim sebagai pintu masuk untuk menciptakan lahan pembantaian orang asli Papua. Dengan itu pemerintah cuci tangan dan diarahkan pada konflik horizontal, maka isu pelanggaran HAM tidak berlaku di sini.
kedua, dengan konflik horizontal ini dapat mengalihkan konsentrasi perjuangan orang Papua untuk kemerdekaan yang sudah mendapat dukungan internasional saat ini. Termasuk membangun opini di dunia internasional bahwa kekerasan dan pelanggaran di Papua adalah konflik horizontal dan kriminal.
Namun demikian dua isu ini tidak menjadi perhatian serius oleh rakyat Papua dan hal ini dapat tergambar dalam demonstrasi Oikumen pada hari senin kemarin, dimana konsenstrasi masa tidak terlalu besar seperti dalam demonstrasi perjuangan bangsa Papua. Hal ini juga didukung para pemimpin papua baik pihak gereja, pemerintah dan tokoh muslim telah mengelola secara baik dalam perdamaian dan persaudaraan mereka selama ini. Agar tidak melebar luas.
Dua hal menjadi pemberitaan berbagai media di Papua dan Indonesia dua minggu ini pelarangan pembangunan menara Masjid dan penghinaan terhadap Misionaris, budaya dan perempuan Papua oleh seorang ustad asal Fakfak. Bila dianalisasi dua peristiwa ini dihubungkan dengan indikator-indikator tertentu sangat mudah ditemukan relasi.
Pertama dianalisa latar belakang dibentuknya Persekutuan Gereja-Gereja di Papua, di mana Persekutuan Gereja-Gereja di Kabupaten Jayapura sebagai salah satu cabangnya. Lembaga ini dibentuk oleh beberapa orang pemimpin gereja masa itu sebagai pembangkaman terhadap persatuan gereja-gereja Papua yang lebih kritis dan berdiri bersama orang Papua untuk membela keadilan atas pelanggaran HAM. Khusus gereja Kingmi, Baptis dan GKI-TP pada masa kepemimpinan pendeta Awom dan pendeta Jemima.
Beberapa manta pemimpin gereja khusus GKI-TP, Gidi dan uskup Jayapura akhirnya sepakat untuk membentuk PGGP dan melibatkan beberapa gereja lain yang tidak memiliki basis yang kuat dalam masyarakat Papua.
Kelompok ini berusaha menghindar dari sikap kristis dari kelompok yang pertama di atas dan lebih dekat dengan pemerintah dan para pejabat militer di tanah Papua. Dalam perkembangannya PGGP lebih pada pro pemerintah dan beberapa pemimpin gereja secara terang-terang perjuang untuk mempertahan pendudukan Indonesia di tanah Papua selama ini. Mereka tidak pernah berbicara tentang pelanggaran HAM yang dialami oleh umat mereka sendiri. Terakhir kelompok ini terlibat dan mobilisasi masa untuk mendukung Akhok, gubernur Provinsi Jakarta ketika dia terlibat dalam persoalan hukum karena penistaan agama tertentu.
Pada saat yang sama seorang ustad asal Fakfak ini secara terang-terangan menghina Misionaris, budaya Papua dan perempuan Papua. Tujuannya jelas untuk membangkitkan emosi dan kemarahan orang Papua. Selama ini kelompok muslim di Papua khusus orang asli Papua tidak terlalu jauh terlibat dalam perjuangan Papua, meskipun ada terbatas pada isu HAM dan membangun wacana politik di media masa. Tetapi perjuangan secara progresif belum terlihat secara kuantitas (ada tapi dalam jumlah terbatas). Termasuk ustad ini tidak terlalu dikenal dan lebih banyak waktu dihabiskan di pulau Jawa (seperti disebutkan Ismael Asso).
Bila dilihat dari latar belakang itu ditemukan relasinya jelas bahwa keduanya lebih kepada kekuasaan dan pro Jakarta. Keduannya mempunyai relasi dan mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai dari dua peristiwa ini. Persoalan utama bukan menarah Masjid dan penghinaan terhadap orang Papua dan misionaris, tetapi lebih besar dari itu.
Ada dua target yang hendak dicapai di sini:
Pertama, membangun konflik hirizontal antara orang kristen dan muslim sebagai pintu masuk untuk menciptakan lahan pembantaian orang asli Papua. Dengan itu pemerintah cuci tangan dan diarahkan pada konflik horizontal, maka isu pelanggaran HAM tidak berlaku di sini.
kedua, dengan konflik horizontal ini dapat mengalihkan konsentrasi perjuangan orang Papua untuk kemerdekaan yang sudah mendapat dukungan internasional saat ini. Termasuk membangun opini di dunia internasional bahwa kekerasan dan pelanggaran di Papua adalah konflik horizontal dan kriminal.
Namun demikian dua isu ini tidak menjadi perhatian serius oleh rakyat Papua dan hal ini dapat tergambar dalam demonstrasi Oikumen pada hari senin kemarin, dimana konsenstrasi masa tidak terlalu besar seperti dalam demonstrasi perjuangan bangsa Papua. Hal ini juga didukung para pemimpin papua baik pihak gereja, pemerintah dan tokoh muslim telah mengelola secara baik dalam perdamaian dan persaudaraan mereka selama ini. Agar tidak melebar luas.
Sumber; Coretan Post Facebook Bapak Ibrahim Peyon
Leave a Comment